Kamis, 31 Desember 2009

SELAMAT TAHUN BARU 2010


Detik demi detik terlewati, tak terasa perjalanan di tahun 2009 akan segera berakhir. Banyak hal yang telah kita lakukan, dan tentunya banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Kekurangan dan kesalahan di tahun ini tak seharusnya terus kita sesali, menatap maju ke depan dengan optimisme adalah solusinya. Segala sesuatu yang baik dan sesuai target, harus dipertahankan dan siapkan resolusi baru di tahun 2010.

Meninggalkan yang lalu kemudian berjalan terus kedapan dengan semangat dan optimisme baru, target baru, amunisi baru, dan tentunya strategi baru

Seluruh Karyawan dan Karyawati Puskesmas Gintu Mengucapkan :

“Selamat Tahun Baru 2010″

Rabu, 30 Desember 2009

SUKU BADA DI LORE SELATAN DAN LORE BARAT



Jenis-jenis Rumah Tradisional orang Lore di Lembah Bada

Bada adalah salah satu suku bangsa yang ada di Sulawesi Tengah. Suku bangsa Bada mendiami daerah di sekitar Lembah Bada yang dikelilingi oleh pegunungan di sebelah selatan wilayah Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakatnya mengembangkan desain rumah yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Rumah bagi masyarakat Lore, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung dari dinginnya udara malam, teriknya sinar matahari, dan derasnya air hujan, tetapi juga memiliki fungsi lain yang sangat erat kaitannya dengan kondisi sosial-budaya mereka. Oleh karena itu, selaras dengan fungsinya, mereka mengenal dan mengembangkan berbagai jenis rumah.

Jenis-jenis rumah orang Lore yang ada di Lembah Bada, di antaranya adalah: rumah tempat tinggal, rumah ibadah, dan rumah tempat menyimpan. Berikut ini akan diuraikan ketiga jenis rumah tradisional tersebut.

a. Rumah Tempat Tinggal
Rumah tempat tinggal Suku Lore di Lembah Bada, baik tempat tinggal raja bangsawan maupun orang kebanyakan (rakyat biasa), disebut dengan tambi. Perbedaan antara tambi raja, bangsawan dan rakyat jelata terletak hanya pada bubungan rumah, yakni ada atau tidaknya kepala/tanduk kerbau. Tanduk kerbau yang ada di bubungan hanya ada pada tambi milik raja dan bangsawan saja, sedangkan pada rumah orang kebanyakan tidak dibenarkan memasang tanduk atau kepala kerbau.

Secara umum tambi yang ada di Lembah Bada ini berukuran antara 5x6 meter persegi hingga 6x9 meter persegi, bergantung dari kemampuan pemiliknya. Di dalam tambi hanya terdapat sebuah ruangan yang disebut lobona, dan tidak memiliki kamar-kamar. Lobona berfungsi sebagai ruang tamu di kalangan keluarga. Di sekeliling lobona, sepanjang dinding tambi terdapat asiri yang berfungsi serba guna. Selain dipergunakan sebagai tempat tidur yang dibatasi oleh sampiran, asiri dapat pula berfungsi sebagai wadah untuk menyimpan benda pusaka atau barang berharga lainnya.

Pada bagian tengah lobona terdapat rapu (dapur), berbentuk segi empat kecil berukuran 1x1,5 meter persegi. Selain sebagai tempat untuk memasak, rapu juga digunakan sebagai alat penerangan pada waktu malam hari atau alat pemanas ruangan pada saat musim dingin. Pintu tambi terbuat dari selembar papan yang tidak disambung, berukuran 90x120 sentimeter persegi yang tebalnya kadang-kadang hingga 5 sentimeter.

Tangga rumah tambi berbentuk segi empat. Jumlah anak tangganya antara 3, 4 atau 5, bergantung tinggi-rendahnya banggunan. Atap tambi berbentuk seperti piramida yang membentuk siku 45 derajat. Pada bagian depan tambi adakalanya terdapat serambi yang ukuran panjangnya sekitar 3 meter dan lebarnya mengikuti lebar tambi.

b. Rumah Ibadah
Rumah Ibadah yang terdapat di Lembah Bada adalah gereja dan masjid. Bangunan gereja yang ada di tempat itu bukanlah bangunan tradisional. Bangunan ini dahulu adalah rumah seorang Pendeta Belanda bernama Wundereght, yang menetap di Desa Boma. Setelah Pendeta Wundereght meninggal dunia, rumah kediamannya dipindahkan ke Gintu dan pada tahun 1955 diubah menjadi gereja. Susunan ruangannya terdiri dari serambi depan, ruang tempat beribadah dan konsistory.

Sebelum Pendeta Wundereght meninggal dunia, tempat ibadah umat Kristen yang merupakan mayoritas di Lembah Bada (97,7%) adalah di sekolah-sekolah darurat yang didirikan oleh missi Zending. Rumah ibadah ini diberi nama tambi ponemba, yang berarti “rumah pemujaan”.

Masjid yang ada di Lembah Bada, tepatnya di daerah Gintu didirikan pada tahun 1977. Masjid ini digunakan oleh umat Islam yang jumlahnya hanya sekitar 2,3% dan tersebar pada 8 desa di Kecamatan Lore Selatan dan 6 desa di Kecamatan Lore Barat.

b. Rumah Tempat Penyimpanan
Di daerah Lembah Bada, rumah tempat menyimpan (buho) tidak hanya dipergunakan sebagai lumbung padi saja, tetapi juga dapat dipakai sebagai tempat untuk menerima tamu dan sebagai tuana mahile (tempat persidangan untuk mengadili tindak pidana). Di tempat itu pula sering berlangsung upacara adat seperti peminangan.

Bangunan buho berbentuk panggung yang pada tiap ujungnya terdapat tiang penopang atap. Tiang tersebut umumnya terbuat dari kayu balimbi yang berbentuk bundar (delapa) dan berdiameter sekitar 10 sentimeter. Buho ini dibagi menjadi dua bagian (dua tingkat). Bagian atas dibuat berdinding dan digunakan sebagai tempat menyimpan padi (lumbung). Pintu masuk ke lumbung biasanya terdapat di bagian tengah atau samping bangunan. Sedangkan, bagian bawahnya tidak diberi dinding dan berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu, tempat tuana mahile, dan dapat pula sebagai tempat melaksanakan upacara adat seperti peminangan.

(Opyn Mananta, SKM)



Selasa, 29 Desember 2009

PENELITIAN


ABSTRACT

Hasanuddin's university

Community health faculty

Epidemiology

Paper, August 2008

OPYN MANANTA

RISK BEHAVIOURAL RELATIONSHIP TO STUDENTS LEARNED ACHIEVEMENT AT SMAN I LORE SELATAN POSO REGENCY CENTRAL SULAWESI 2008

xiv + 98 pages + 18 tables + 2 graphs + 2 picture + 8 attachments

Adolescent is its happening term change and fast one physical developing and is brought up too on one series of task and complex life activity and mutually gets bearing who shall shortly be settled it, there are many amongst those one takes in to run the risk on health and its studying achievement. At SMAN I Lore Selatan, Presentase is ascension brazes around 85 90 % and presentase is vicinity pass 92,34 %.

This research intent to prove what available relationship among risk behavioural to students learned achievement.

This research utilizes studi observasional with design cross sectional studi , by use of method exhausive is sampling . analisis's data by tests Chi Square,phi's coefficient and logistics regression with α 0.05 .

As much 127 student that accomplish research criterion, Result tests chi square that exists relationship among smoking to students learned achievement ( p ( 0. 000) ; Ø : 0.589 ), available relationship among consumption alcoholic beverage to learned achievement ( p ( 0. 000) ; Ø : 0.580 ), available relationship among watches TV / porn film to learned achievement ( p ( 0. 000) ; Ø : 0.456 ), available relationship among behavioural sexual to learned achievement ( p ( 0. 000) ; Ø : 0.341 ) and has no relationship among consumption Napza to learned achievement ( p0. 276) . Result tests logistics regression that smoking behaviour ( p 0.002) having relationship 5.505 times to student learned achievements, behaviour watches TV / porn film ( p 0. 012) having relationship 3.535 times to learned achievements and behavioural consumption alcoholic beverages ( p 0. 042) having relationship 3.185 times to learned achievements.

Student that have smoking behaviour, consumption alcoholic beverage, behaviour watches TV / porn film, risk sexual behaviour tends its studying achievement less instead of student that don't get risk behaviour. Student that have behaviour consumption Napza tends its studying achievement equal student that don't consumption Napza .

Necessary counselling about smoking danger and prohibition smokes, alcohol danger, Napza's danger, health reproduces, and needs it observation of teacher/family, and government support via its policy in protects students of risk behaviour.

Key word: Smoke, alcohol, watching TV / porn film, sexual, Napza, learned achievement, behaviour.

Literature: 40( 1998 2008)

TIM PENGELOLA KESEHATAN KABUPATEN

Informasi - Informasi yang di Butuhkan oleh TIM PENGELOLA KESEHATAN KABUPATEN dalam Penyusunan Profil Kesehatan Kabupaten

Oleh : Opyn Mananta, SKM

A. TIM PENGELOLA KESEHATAN KABUPATEN

Kabupaten adalah daerah swantantra tingkat II yang dikepalai oleh seorang bupati dan merupakan bagian langsung dari propinsi atau daerah swantantra tingkat I. Kabupaten merupakan tingkat terpenting dalam pengelolaan kesehatan primer.Semua kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan dikabupaten perlu dikoordinasikan ke dalam sistem kesehatan kabupaten

Dinas kesehatan kabupaten dikelola oleh tim pengelola kesehatan kabupaten (TPKK). TPKK terdiri dari kepala dinas kesehatan kabupaten,perawat kesehatan masyarakat, administrator rumah sakit,ahli gizi dan kepala unit sanitasi.

Pelayanan kesehatan meliputi kader kesehatan sampai rumah sakit. Rumah sakit kabupaten berfungsi sebagai rumah sakit rujukan tingkat pertama

Tugas TPKK terbagi kedalam 4 bidang tanggung jawab utama :

  1. Perencanaan kesehatan kabupaten,termasuk peran serta masyarakat, serta kerja sama dan koordinasi lintas sektoral dengan pemerintah setempat dalam bidang kesehatan
  2. Administrasi kesehatan kabupaten dan pengelolaan semua program kesehatan masyarakat
  3. Pelatihan (diklat) dan pengawasan dan pengendalian (wasdal) semua staf kesehatan
  4. Pelayanan di rumah sakit dan pelayanan rawat jalan

Titik awal untuk mendapatkan informasi kesehatan adalah mengenal dengan baik populasi kabupaten dan jumlah penduduk yang membutuhkan pelayanan

B. INFORMASI YANG DIBUTUHKAN OLEH TIM PENGELOLAH KESEHATAN KABUPATEN

Tim Pengelolah Kesehatan Kabpaten (TPKK) membutuhkan informasi kesehatan secara epidemiologi mengenai :

1. Populasi kabupaten, struktur usia dan jenis kelamin,migrasi,dan statistik vital

2. Penyebab utama kesakitan dan kematian

3. Organisasi pelayanan kesehatah kabupaten, terutama dalam hal akses, cakupan dan efektivitas

4. Informasi umum

a. Sejarah kabupaten,ciri fisik (geografi) dan iklim,organisasi kemasyarakatan,perkembangan ekonomi,pekerjaan penduduk dan struktur organisasi pemerintah daerah

b. Letak desa dan kota,jalan utama dan beberapa unsur penting seperti sungai dan gunung

5. Penduduk

Jumlah penduduk kabupaten,struktur usia dan jenis kelamin,sebaran geografi,pola perpindahan dan laju pertumbuhan penduduk

6. Status kesehatan,pola kesakitan dan kematian

a. Indikator demografi seperti angka kelahiran,angka kesuburan, angka kematian bayi, angka kematian anak dan angka kematian kasar

b. Penyebab utama kesakitan, kematian dan sejumlah penyakit yang dapat mewabah

c.Faktor utama yang mendasari timbulnya masalah kesehatan seperti ketersediaan makanan,perumahan,bekalan air bersih dan pembuangan kotoran manusia

7. Pelayanan Kesehatan

a. Jumlah dan penyebaran sarana kesehatan milik pemerintah dan swasta, tenaga pelaksana, dan program yang dijalankan

b. Kecukupan logistik, bekalan dan dukungan pengelolaan

8. Program Kesehatan Kabupaten

a. KIA: pelayanan pra persalinan,persalinan dan pasca persalinan

b. Gizi: pemantauan pertumbuhan dan penanggulangan gangguan gizi

c. Imunisasi: program pengembangan imunisasi

d. Kesehatan lingkungan: bekalan air bersih,pembuangan kotoran dan kebersihan

e. P2M (Pemberantasan Penyakit Menular): Kegiatan mendiagnosis dan mengatasi penyakit


Agar dapat menyusun perencanaan di bidang kesehatan, TPKK membutuhkan ketrampilan epidemiologi untuk tugas berikut ini :

1. Memberi batasan kelompok penduduk menurut usia,jenis kelamin dan tempat

2. Menilai masalah kesehatan dan penyakit, khususnya penyebab utama kematian dan kesakitan

3. Mengumpulkan data kesehatan melalui pelayanan kesehatan rutin,surveilens,penyelidikan wabah dan survei

4. Menghasilkan informasi kesehatan sebagai hasil analisis data

5. Menjabarkan dan menyebarkan informasi kesehatan

6. Menilai status kesehatan penduduk secara keseluruhan dan kelompok berisiko tinggi

7. Menentukan masalah kesehatan yang menjadi prioritas

8. Menggunakan informasi kesehatan sebagai landasan untuk memilih alternatif intervensi

9. Menyempurnakan program kesehatan

10. Memprakirakan peningkatan cakupan dan akses

11. Mengevaluasi efektivitas program kesehatan dalam mengurangi masalah kesehatan,kesakitan dan kematian

12. Menentukan perubahan status kesehatan penduduk kabupaten.

semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dalam mengelolah kesehatan dimasing - masing daerah.

Minggu, 27 Desember 2009

Schistosomiasis Japonicum


Schistosomiasis japonica is a chronic disease caused by trematode worm infection. Trematode belongs to the genus schistosoma, which had an endemic characteristic and widely distributed in Africa, South America, The Middle East, and Asia. In Indonesia, the wonn is only found in Lake Lindu (District of Donggala) and Napu Highland (District of Poso). The disease was firstly reported by Muller and Tesch in 1937 who found a male patient of 35 years that eventually died in Palu Hospital (Hadidjaja, 1985). The disease was endemic in two areas in Central Sulawesi, i.e., in Lake Lindu and Napu Highland. Mediating host of this disease was amphibious snail, Oncomelania hupensis lindoensis, found in 1971 (Carney et al, 1973, in Gand3husada et ill, 1998).

Eradication program had been accomplished since 1982 by Health Office, Province of Central Sulawesi in Lindu and Napu areas, involving activities such as survey, research, and field trial in order to find the disease situation, transmission factors, and possible eradication method. These efforts bad a significant contribution since it might suppress the prevalence rate from 33.85% to 1.51% between 1982 - 1988. However, in semester II 2002 the prevalence increased in almost all villages, reaching averagely 2.43% from 14 villages in Napu, with the highest prevalence in Dodolo village (4.73%) and Maholo village (3.77%). Faecal examination revealed the eggs of Schistosoma japonicum in 164 from 12,463 individuals examined (2.43%), although the Department of Health and the government of Central Sulawesi had targeted the decrease of Schistosomiasis prevalence to be lower than 1% or <10>
Penyakit Schisitosomiasis japonica atau disebut juga demam keong merupakan penyakit menahun yang disebabkan oleh infeksi trematoda yaitu cacing yang tergolong dalam genus Schistosoma dan bersifat endemik dengan penyebaran cukup luas di dunia seperti Afrika, Amerika Selatan, Timur Tengah dan Asia. Di Indonesia hanya ditemukan di daerah Danau Lindu ( Kabupaten Donggala) dan Dataran Tinggi Napu (Kabupaten Poso). Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Muller dan Tesch pada tahun 1937 dimana ditemukan kasus pada laki-laki yang berumur 35 tahun yang kemudian meninggal di Rumah Sakit Palu (Hadidjaja, 1985). Penyakit ini ditemukan endemis di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu daerah Danau Lindu dan Lembah Napu. Pejamu perantara penyakit ini adalah sejenis keong amphibi yaitu jenis Oncomelania hupensis lindoensis yang ditemukan pada tahun 1971 (Carney dkk, 1973 dalam Gandahusada dkk, 1998).

Program pemberantasan Schistosomiasis japonica secara intensif dilaksanakan mulai tahun 1982 oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah di daerah Lindu dan Napu. Program pemberantasan terutama menyangkut kegiatan-kegiatan survei, penelitian dan uji coba lapangan dengan maksud untuk lebih mengetahui situasi penyakit, faktor-faktor penularan yang berperan dan metode pemberantasan apa yang dapat dilakukan. Selama periode tahun 1982-1988 di daerah Napu terjadi penurunan angka prevalensi dari 33,85% menjadi 1,51 %. Namun pada semester II tahun 2002 terjadi peningkatan prevalensi penyakit hampir di semua desa hingga mencapai rata-rata 2,43 % dari 14 desa yang ada di Napu, dua diantaranya paling tinggi yaitu desa Dodolo, (4,73 %) dan desa Maholo (3,77 %). Hal ini berdasarkan hasil pemeriksaan tinja dari 12.463 orang ditemukan positip telur cacing Schistosoma japonicum sebanyak 164 orang ( 2,43 %) padahal pihak Ditjen PPM dan PLP Departemen Kesehatan RI dan Pemerintah Propinsi. Sulawesi Tengah menargetkan mulai akhir Pelita V terjadi penurunan prevalensi Schistosomiasis hingga mencapai angka di bawah 1 % atau <>
Pada tahun 2006, dilakukan survey lebih luas di wilayah sekitar Taman Nasional Lore Lindu, yang salah satunya di wilayah kecamatan Lore Selatan, yang merupakan wilayah kerja dari Puskesmas Gintu. pada survey tersebut ditemukan beberapa fokus keong Oncomelania Hupensis Linduensis yang merupakan hospes dari cacing scistosoma japonicum. dan pada pembedahan tikus ditemukan cacing cacing scistosoma japonicum. yang selanjutnya mulai ditemukan beberapa penderita di wilayah ini.
Hal ini sangat menggembirakan oleh karena keberhasilan dalam mengungkap suatu masalah kesehatan yang dengan sendirinya dapat menyelamatkan atau melindungi masyarakat dari penyakit ini. Namun sangat disayangkan hal ini tidak di barengi dengan ketersediaan obat - obatan untuk menyembuhkan penyakit ini, oleh karena obatnya tidak lagi diproduksi. suatu contoh kasus yang terjadi beberapa waktu yang lalu, terjadinya kasus kematian oleh karena penyakit ini, Harapan kami kiranya kita semua terus meningkatkan upaya - upaya pemberantasan penyakit ini, sehingga prevalensinya dapat ditekan sekecil - kecilnya.






Syallom buat sobat - sobat sekalian dimanapun anda berada, kami pimpinan beserta staf dan keluarga mengucapkan:

" Selamat Merayakan Hari Natal 25 Desember 2005 dan Selamat Menyongsong Tahun Baru 1 Januari 2010 "

Semoga damai dan sukacita Natal akan selalu bersama dengan kita dan keluarga serta semoga di tahun yang baru nanti kita semua dapat memperoleh berkat dan kesuksesan yang dari Tuhan.
Khusus buat dr. Yenzher Tamuntuan yang sekarang lagi menuntut ilmu di Universitas Sam Ratulangi Manado ( Spesialis Bedah ), Semoga Natal kali ini menjadi awal untuk kesuksesannya dalam menuntut ilmu dan kiranya Tuhan Yesus memberikan ketabahan, kekuatan, kecerdasan, serta kesetiaan terhadap keluarga, agar bisa sukses dalam pendidikan. terima kasih buat pa dokter sekeluarga yang sudah boleh bersama - sama dengan kami di Puskesmas Gintu, semoga Tuhan Yesus membalas semua kebaikan pa dokter selama ini. mohon maaf atas semua kesalahan dan keterbatasan kami sebagai manusia biasa.
Buat teman - teman yang lagi cuti jangan lupa bawa ole - ole ya......, dan teman - teman yang masih berada di Puskesmas mat bekerja, tetap semangat mengabdi kepada negara, masyarakat terlebih kepada Tuhan.

Hormat kami,
karyawan dan karyawati Puskesmas Gintu

dr. Yenzher Tamuntuan
Opyn Mananta, SKM
Max Rantung, SKM
Yudith Langimpu, S.Kep.Ns
Kristina Gosal,AmGz
Debbie Rantung, Amd.Far
Jotham Taunaumang
Norvin Morato
Rusiana Ndonga
Elisabeth Wengkau
Theodorus Wengkau
Jonathan Pole
Sarman Tohu
Nenning Wengkau,Amd.Kep
Ratna Wengkau, Amd.Kep
Sri Lamani,Amd.Kep
Dahlia Sanutu
Noviani Topao
Erix Morato
Giltania Tongka
Yulianti Sambara
Vera Tungka
Melisa Sarappang, Amd.Keb
Adolfina Tungka
Lani Tuwo, Amd.Keb



Sabtu, 26 Desember 2009

GAMBARAN PUSKESMAS GINTU

Puskesmas Gintu adalah salah satu Pusat Kesehatan Masyarakat yang berada didaerah terpencil, yang memiliki akses transportasi yang masih sulit dengan jalan darat yang masih kurang memadai, dimana dapat ditempuh dari kecamatan tetangga (kecamatan Pamona Utara) dengan jarak tempuh sekitar 70 km dengan waktu tempuh sekitar 5 - 6 jam dengan kendaraan roda empat dan roda dua.
Wilayah kerja Puskesmas Gintu terdiri dari delapan desa yaitu Desa gintu, desa bewa, desa Pada, desa Bomba, desa Bulili, desa Bakekau, Desa Badangkaia dan desa Runde. yang kesemuanya merupakan wilayah dari kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Penduduk di wilayah ini berkisar 5.544 jiwa, dengan yang terdiri dari 2.885 jiwa laki - laki dan 2.659 jiwa perempuan, dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sawah dan ladang.
Sebagai satu - satunya fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kecamatan Lore Selatan, Puskesmas Gintu merupakan Puskesmas Perawatan dengan 10 tempat tidur, namun demikian jumlah kunjungan pasien rawat inap sangat kurang, yang kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya tenaga dokter di Puskesmas ini.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan di bantu dengan keberadaan Puskesmas Pembantu, yaitu Pustu Bomba, Pustu Badangkaia dan Pustu Bulili, yang di tempati oleh bidan desa, namun demikian Pustu Bulili sampai saat ini belum ada tenaga kesehatan yang menetap di desa tersebut, baik Bidan maupun Perawat. di beberapa desa juga telah dibangun Poskesdes yang ditempati oleh Bidan desa, yaitu Poskesdes Pada, Bewa, Bakekau, Badangkaia dan Runde. Dari segi anggaran Puskesmas Gintu diberikan PAGU anggaran untuk Tahun 2010 dari Dana Alokasi Umum Kabupaten Poso sebesar Rp.118.750.000.-, di tambah lagi sumber dana lain seperti Jamkesmas, Askes dan sumber lain.

Hormat Kami,
penulis


Opyn Mananta, SKM
Epidemiolog Ahli